Mengenal Bank Jangkar

0

Kementrian Keuangan sedang menggodok sebuah mekanisme baru untuk membantu likuiditas sektor keuangan selama masa pandemi ini. Mekanisme ini disebut dengan Bank Jangkar, dan diharapkan dengan adanya Bank Jangkar, stabilitas ekonomi khususnya di sektor keuangan bisa tetap terjaga. Memangnya Bank Jangkar ini apa sih, dan apa bedanya dengan bank-bank konvensional? Untuk tahu lebih jelasnya pertama-tama kita perlu memahami bagaimana sektor keuangan dan perbankan beroperasi.

Cara kerja sektor keuangan

Sektor keuangan pada umumnya memiliki kegiatan untuk mengumpulkan uang, melalui mekanisme utang atau premi, dan kemudian menyalurkannya lagi ke masyarakat dalam bentuk kredit. Bagi masyarakat awam, kegiatan ini biasanya dilakukan dengan menyimpan dan meminjam uang di bank. Lalu sebagai imbalan dari uang yang “diputar” tersebut, kita mengenal yang namanya bunga pinjaman dan bunga simpanan. Melalui mekanisme bunga hasil dari memutar uang inilah, uang baru tercipta dan beredar ke dalam masyarakat, dan pada akhirnya menumbuhkan perekonomian suatu negara.

Skema sektor keuangan

Masalahnya, sejak pandemi Covid-19 berlangsung, perekonomian melambat sehingga banyak orang yang kesulitan untuk mengembalikan bunga dan pokok pinjaman mereka ini ke bank. Akibatnya Kementrian Keuangan dan OJK pun bergerak cepat untuk mencegah banyak usaha yang bangkrut karena tidak bisa membayar utangnya ke bank. OJK mengeluarkan himbauan bagi bank-bank untuk melakukan restrukturisasi kredit bagi para nasabahnya yang terdampak oleh pandemi Covid-19. Restrukturisasi kredit ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti perpanjangan tenor, diskon bunga, hingga payment holiday.

Tentu saja, kebijakan ini akan sangat mempengaruhi likuiditas dari perbankan. Di satu sisi, pemasukan bank berkurang karena banyak kredit yang direstrukturisasi. Di sisi lain, bank tetap harus membayar bunga simpanan dan deposito nasabah, serta harus tetap menyalurkan kredit baru agar perekonomian bisa tetap berjalan. Akibatnya, jumlah uang kas yang dimiliki oleh bank jadi menipis. Ini tentu berbahaya, jika cadangan kas bank-bank mengering, masyarakat akan panik dan menarik semua simpanannya, yang pada akhirnya akan terjadi rush dan runtuhnya sistem keuangan di negara ini.

Solusi untuk likuiditas perbankan

Untuk mengatasi masalah likuiditas, sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dipakai. Yang pertama adalah menggunakan Pasar Uang Antar Bank (PUAB), yaitu bank yang mengalami kesulitan likuiditas bisa meminjam uang di bank lain yang masih memiliki cadangan kas cukup banyak. Yang kedua, bank bisa melakukan pinjaman di Bank Indonesia. Namun solusi ini hanya bisa dilakukan jika PUAB sudah tidak bisa mengatasi masalah likuiditas, karena peran BI sebagai Lender of Last Resort alias solusi terakhir. Tentunya semua pinjaman2 ini tidak gratis, bank yang meminjam harus mengembalikan dana pinjamannya di kemudian hari beserta dengan bunganya.

Karena dirasa mekanisme-mekanisme yang ada masih belum cukup untuk melindungi perekonomian Indonesia, akhirnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan pun menerbitkan satu mekanisme baru yaitu Bank Jangkar melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 23/2020.

Kontroversi Bank Jangkar

Bank Jangkar pada dasarnya adalah bank-bank yang dipilih pemerintah untuk menempatkan dana bantuannya ke sektor keuangan, yang kemudian akan disalurkan oleh Bank Jangkar ke bank-bank umum lain yang mengalami kesulitan likuiditas. Dalam bahasa sederhananya, pemerintah menjadi nasabah Bank Jangkar dengan menempatkan dananya, kemudian Bank Jangkar meminjamkan dana ini ke bank lain lewat PUAB tadi. Jadi pemerintah tidak secara langsung menyuntikkan bantuan likuiditas ke sektor perbankan. Mengapa kok pemerintah tidak mau langsung saja membantu bank-bank yang kesulitan likuiditas? Hal ini untuk menghindari terjadi kesalahan seperti di masa lalu. Pada saat krisis 1998, pemerintah pernah menyuntikkan bantuan likuiditas kepada bank-bank bermasalah. Bantuan ini kemudian banyak yang diselewengkan dan hilang. Begitu pula pada 2008 pemerintah melalui LPS juga menyuntikkan bantuan likuiditas sebesar 6 triliun ke Bank Century. Dan seperti yang kita tahu, kasusnya masih jadi kontroversi hingga saat ini.

Skema Bank Jangkar

Untuk mencegah terjadinya permasalahan serupa inilah, pemerintah menggunakan mekanisme Bank Jangkar. Karena mekanisme penyaluran bantuan likuiditas ke bank-bank menggunakan skema business-to-business, maka potensi penyalahgunaan pun bisa diminimalisir. Pemerintah sendiri akan menyeleksi bank-bank yang akan dijadikan Bank Jangkar dari 15 bank dengan aset terbesar, dan memiliki kepemilikan minimal 51 persen dalam negeri. Dana pemerintah yang akan diendapkan pun juga akan dijamin oleh LPS. Dan jika ada bank penerima bantuan yang mengalami gagal bayar, BI bisa mengeksekusi surat berharga bank yang gagal untuk mengembalikan dana tersebut. Skema ini diharapkan bisa menjadi alternatif bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat restrukturisasi kreditnya, dan secara makro menstabilkan kesehatan sistem keuangan di Indonesia.

Namun skema Bank Jangkar ini bukannya tanpa resiko. Ada beberapa resiko yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya. Resiko terbesar adalah terjadinya moral hazard, yakni ketika bank-bank yang menjadi Bank Jangkar atau bank-bank penerima bantuan merasa aman karena pinjamannya dijamin oleh LPS, yang berakibat mereka mengambil resiko yang tidak perlu dalam proses penyaluran kreditnya. Logikanya, jika sudah ada yang menjamin (LPS) maka buat apa bermain aman? Langsung aja kasih pinjaman ke bank/kredit beresiko tinggi, karena marjin bunganya otomatis bisa makin gede, alias cuan. Masalahnya adalah jika banyak dari pinjaman-pinjaman beresiko ini gagal bayar, maka dana talangan dari LPS bisa jadi tidak akan cukup untuk mengcover semuanya.

Resiko lain yang bisa terjadi adalah kembali lagi resiko likuiditas. Karena seperti yang sudah diberitakan, untuk tahap awal pemerintah baru berencana untuk menyuntikkan dana sekitar 30 triliun ke Bank Jangkar, dan kemungkinan akan bertambah hingga 80 triliun. Sedangkan per 30 April, restrukturisasi kredit yang sudah tercatat telah mencapai angka 300 triliun. Dan bisa dipastikan jumlahnya akan terus bertambah apabila pandemi Covid-19 tidak segera berakhir. Dengan kata lain, dana yang dikucurkan pemerintah masih sangat kecil dibandingkan dengan dana yang mungkin harus disalurkan. Memang Bank Jangkar bukanlah benteng pertahanan terakhir untuk masalah likuiditas ini, namun tetap saja hal ini mengkhawatirkan. Apalagi jika mengingat bencana keuangan tahun 1998 di mana banyak bank yang tutup karena mengalami masalah likuiditas, lalu berujung pada krisis politik dan kerusuhan di mana-mana.

Sentimen untuk saham perbankan

Isu Bank Jangkar ini juga ternyata juga mempengaruhi saham-saham perbankan di BEI loh. Beberapa hari terakhir, saham-saham bank BUKU IV sempat terkoreksi cukup dalam, karena banyaknya investor yang melepas sahamnya. Maklum, belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, intervensi pemerintah ke sektor perbankan selalu menjadi blunder dan kasus di masa depan. Semoga saja mekanisme Bank Jangkar ini tidak seperti yang sudah-sudah, dan pandemi ini bisa lekas selesai, sehingga pemerintah tidak perlu cawe-cawe terus di luar kebiasaan ke dalam sistem keuangan di Indonesia.

Bagikan halaman ini